Media Berpihak

Sebenarnya sudah cukup lama saya ingin menulis tentang hal ini, sejak 2/3 bulan yang lalu. Cukup jenuh juga lihat kondisi yang terus-terusan seperti ini. Sampai kapan? Tentu sampeyan paham maksud saya, yaitu tentang keberpihakan media dan pers yang makin membingungkan.

Majalah Tempo, Edisi Pilkada Tidak Langsung.
Majalah Tempo.

Berdasarkan dari berita yang saya baca di situs Tempo, sastrawan dan jurnalis senior, Goenawan Mohamad, menegaskan bahwa media dalam pemberitaannya tidak harus netral. Hal terpenting, dia mengatakan, pemberitaan media tidak untuk memfitnah.

Saya sangat setuju kalau pemberitaan tidak boleh untuk memfitnah, namun saya tidak tahu pasti, apakah benar media itu tidak harus netral dalam pemberitaannya. Ya, saya bukan orang pers, jadi tidak benar-benar paham untuk hal-hal yang berkaitan dengan pers dan medianya.

Menurut pendapat saya, keberpihakan media tentu saja merugikan para pembacanya, pemirsanya, karena mereka sudah pasti bingung manakah berita yang benar. Sekarang bagaimana kalau ternyata berita yang sampeyan amini itu salah? Sedangkan sampeyan terlanjur sepenuhnya percaya kalau itu berita yang benar. Media makin seperti kitab suci, tokoh yang dibela ibarat nabi.

Pendiri dan direktur Media Watch Surabaya, Sirikit Syah, juga merasa heran dengan keberpihakan media-media ini. “‘Kegilaan’ ini melanda semua media, tak hanya yang ‘abal-abal’, tapi juga justru media mainstream, yang pengaruhnya lebih besar pada rakyat. Saya tidak heran kalau Aburizal Bakri dan Harry Tanoe korbankan medianya. Mereka bukan orang pers,” ujar Sirikit Syah.

Lanjutnya, “Yang saya heran orang yang jadi panutan kami di dunia pers selama ini: Dahlan Iskan, Surya Paloh, Jacob Oetama, Goenawan Mohamad… Ikut-ikutan mengorbankan kredibilitas dan reputasi medianya. Saya heran,” kata Dosen Stikosa-AWS ini.

Ibu Sirikit mewanti-wanti, “Ambisi berlebihan seperti ini justru patut dicurigai,” pesannya. Informasi ini saya kutip dari situs berita Hidayatullah.

Kok saya cukup yakin, jumlah pemirsa media-media yang berpihak tersebut jadi semakin berkurang, karena boleh jadi dulu sebagian pemirsanya pro kiri, namun setelah melihat media favorit mereka pro kanan, maka mereka beralih ke media yang pro kiri, dan sebaliknya.

Tapi bagaimanapun juga, topik seputar politik memang selalu menarik perhatian netizen, sangat membangun perbincangan yang bersifat pro ataupun kontra, bahkan tidak jarang terjadi tweet war. Padahal saya pikir setelah drama Pilpres 2014, situasi kembali normal, kok nyatanya tidak ya?

Bahkan saya sering dengar cerita, sampai ada yang memutuskan hubungan pertemanan, persahabatan dan percintaan, hanya lantaran berbeda pihak yang didukung. Tapi, kalau sekedar mendendam dalam hati mungkin banyak yah? Minimal, saling sindir lewat status, tweet ataupun post. Banyak kan? :))

Pernah saya berpikir, kalau semisalnya drama Pilpres 2014 itu diperpanjang sampai setahun, bisa-bisa gak cuman gaduh di media sosial, namun langsung berantem dilapangan.

Selamat malam dan terima kasih buat sampeyan yang baru selesai baca. Jadi bagaimana pendapat sampeyan tentang keberpihakan media dan pers?

2 thoughts on “Media Berpihak

  1. Media harus berimbang itu hanya teori bangku kuliah. Pas kuliah dulu saya mati2an diajari itu sama dosen saya kalo media itu harus balance, independent, dll. Tapi kan praktek gak selalu sama dengan teori… 🙂

Comments are closed.