Akibat Pilihanmu, Konsekuensimu Milikku

Tak ikut memilih tapi ikut merasakan akibatnya. Idealnya, sampeyan yang menerima konsekuensi atas pilihan sampeyan. Bukan tetangga-tetanggamu, teman-temanmu, bukan pula mereka atau juga aku.

kon·se·ku·en·si /konsekuénsi/ n 1 akibat (dr suatu perbuatan, pendirian, dsb); 2 persesuaian dng yg dahulu

Analoginya begini, kalau sampeyan yang meminum racun, kan ndak logis kalau aku dan mereka ikut merasakan racunnya. Kalau sampeyan yang berhutang, kan ndak logis kalau aku dan mereka juga berkewajiban melunasi hutangnya. Kalau sampeyan yang bunuh diri, kan ndak logis kalau aku dan mereka juga ikutan mati. Bukankah seharusnya konsekuensi itu milik sampeyan dan juga teman-teman “seperjuangan” sampeyan? Idealnya begitu kan?

Salah satu persoalan saat ini adalah, harga cabai merah besar Rp 1.500/buah, dan itu akibat pilihan sampeyan. Mungkin sampeyan mampu membelinya, tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu, dan bagaimana pula dengan mereka yang tidak ikut memilih? Kok ikut menerima konsekuensi atas pilihan sampeyan? Paradoks kan? Itu masih cabai, belum yang lainnya.

Apakah hanya harga cabai merah besar yang meroket? Tidak! Efek domino itu juga membuat harga bahan pokok yang lainnya naik. Bahkan boleh jadi ada banyak anak yang putus sekolah akibat keputusan sampeyan.

Mungkin alasan klisenya, kalau ndak mau ikut menanggung konsekuensi yang sama, ya jangan berada didalam satu kendaraan yang sama. Masalahnya adalah, siapakah yang mau meninggalkan kendaraan itu? Si pengambil keputusan, ataukah “korban” dari si pengambil keputusan?

Semakin jauh kedepan, semakin paradoks. Mungkin sudah saatnya saya menikmati secangkir kopi, dan berpura-pura semuanya itu tidak pernah terjadi. Toh pada akhirnya apapun yang kita perbuat, pasti harus di pertanggungjawabkan dihadapan Alloh / Tuhan. Itu kalo sampeyan percaya eksistensi Tuhan.